Saatnya untuk Kembali ke IPDN Daerah
Posted by
Efprizan 'zan' Rzeznik at Friday, May 25, 2007
Share this post:
|
Oleh: Efprizan
Pontianak Post, 10 April 2007
KEMATIAN Cliff Muntu, 20 tahun, praja angkatan II IPDN asal Manado, Sulawesi Utara yang dianiaya seniornya, ibarat puncak gunung es, dimana kejadian-kejadian serupa lainnya yang berada di bawahnya banyak yang menyimpan misteri.
Berbagai wacana kemudian muncul dipermukaan untuk menghentikan kekerasan yang kerap terjadi di IPDN atau yang sebelumnya dikenal dengan STPDN (Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri) itu.
Sabtu (7/4) sejumlah alumnus Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Pontianak dan STPDN asal kota yang sama melakukan diskusi menyikapi kekerasan yang terjadi di IPDN. Diskusi tersebut berlangsung di kediaman Tabrani Hadi Jalan MT Haryono Nomor 22.
Tabrani yang juga CEO Pontianak Post, merupakan mantan Direktur APDN Pontianak. Ia menjabat pucuk pimpinan APDN Pontianak selama 10 tahun (1979-1989). Dalam diskusi tersebut, melahirkan rekomendasi agar pemerintah pusat segera mendesentralisasikan IPDN.
Likuidasi APDN
Berdirinya Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) bermula dari terbentuknya APDN di Malang, Jawa Timur, pada Maret dengan Direktur Pertama dr. Raspio Woerjadiningrat.
Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kader aparatur pemerintah di tiap daerah, maka sejak tahun 1965 satu persatu didirikan APDN di berbagai provinsi.
Pada 1970 telah berdiri 20 APDN di seluruh Nusantara.
Lokasi-lokasi APDN tersebut diantaranya Banda Aceh, Medan, Bukittinggi, Mataram, Kupang, Ujung Pandang, Manado, Ambon,
Jayapura, termasuk Pontianak.
Menteri Dalam Negeri waktu itu, Rudini, berkinginan menyamakan pola pendidikan APDN. Kemudian dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 1988 tentang Pembentukan APDN yang bersifat nasional yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Dalam proses perkembangan selanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden No.42 Tahun 1992 yang mengubah APDN menjadi STPDN.
“Saya ikut menjadi orang yang menentang dibubarkannya APDN daerah. Saya sempat bertengkar dengannya (Rudini),” kata Tabrani Hadi.
Menurut Tabrani, ada dua alasan utama yang mendasari Rudini melikuidasi APDN daerah. Pertama, APDN di setiap wilayah terlalu bersifat kedaerahan. Kedua, APDN di daerah tidak bermutu.
“Saya tolak kedua alasan tersebut. Jika memang tidak bermutu, kenapa banyak lulusan APDN Pontianak yang menyelesaikan studi lanjutan di universitas lainnya yang terkenal seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Institut Pertanian Bogor, bahkan ke universitas di luar negeri. Mereka masuk tanpa tes bahkan diberikan beasiswa. Sebenarnya mutu APDN kita cukup tinggi. Bahkan APDN Pontianak termasuk nomor satu terbaik waktu itu,” katanya.
Manajemen pengawasan
Alumnus APDN Pontianak, Drs Alfian MSi, merasa terenyuh dengan kejadian-kejadian kekerasan yang terus menyelimuti IPDN. Dengan serangkaian kekerasan itu, masyarakat seolah memandang IPDN sebagai pencetak ahli beladiri. “Hal-hal positif dari IPDN, rusak gara-gara kejadian itu. Sangat disayangkan,” katanya.
Drs Hasanuddin M.Si, Alumnus STPDN Angkatan III dari Pontianak, mengatakan bahwa penerapa pola pengajaran, pelatihan, dan pengasuhan (jarlatsus), merupakan pembeda IPDN dengan kampus lainnya.
Ia menduga, pola pengasuhan yang salah menjadi pemicu serangkaian kasus kekerasan yang dialami praja IPDN. “Pola terakhir yang tidak beres. Jumlah pengasuh dan praja tak seimbang sehingga pengawasan lemah. Depdagri pernah berjanji menambah pengasuh, tapi hal itu tidak pernah tuntas,” katanya.
Setiap tahunnya, IPDN menerima lebih dari 1.000 praja baru. Yang berati ada lebih dari 3 ribu praja yang mengenyam pendidikan di sana.
Alumnus APDN Pontianak, Drs Bulyadi MSi, mengatakan bahwa
minimnya tenaga pengasuh di kampus tersebut diakibatkan beberapa faktor. Dana kesejahteraan yang kurang untuk pengasuh dan karier yang tidak jelas menjadi salah satu faktor tidak menariknya tugas sebagai pengawas di IPDN. “Sementara tanggung jawabnya besar,” ujarnya.
Menurutnya, usulan kepada Depdagri agar para pengasuh di IPDN mempunyai jabatan stuktural minimal eselon 4 dan eselon 3 bagi kepala bidang, sudah pernah disuarakan.
Usulan itu dimaksudkan agar para pengasuh dari daerah termotifasi untuk menjalankan tugas tersebut. Sayangnya, Depdagri tidak pernah berniat menjalankan usulan itu.
Karenanya, dia memandang perlu agar IPDN merombak manajemen pengawasan. “Satu barak yang berisi sekitar 100 orang, pengawasannya tak berjenjang. Tidak diawasi 24 jam. Ini rentan akan terjadinya gesekan,” katanya.
Alumnus APDN Pontianak lainnya, Drs Alfian MSi, mengatakan bahwa praja-praja yang cendrung berprilaku menyimpang sebenarnya bisa diketahui lebih awal lewat berbagai pendekatan antisiapsi. “Pastinya ada rangkaian awal kenapa tiba-tiba praja tersebut berprilaku brutal. Kalau yang lain ikut, mungkin karena ada spontanitas rasa kebersamaan.
Nah, pantauan ini tidak diiukuti. Kalau sudah kejadan, baru mengambil langkah dan tidak melakukan antisipasi-antisipasi sebelumnya,” ujarnya.
Ego Kedaerahan
Dra Linda Purnama MSi, Alumnus APDN Pontianak, mengatakan bahwa membentuk jiwa disiplin bagi seseorang tidak harus menggunakan kekerasan fisik.
“Alunus APDN tidak pernah mendapatkan kekerasan fisik seperti ditempeleng, ditinju, ditendang, tapi kami juga bisa berlaku disiplin. Yang paling penting adalah, bagaiman bisa mencetak kader yang berwawasan luas dan dapat merepon aspirasi asyarakat,” ujarnya.
Tabrani Hadi mengatakan, sejak APDN Pontianak berada di bawah kepemimpinannya, kekerasan fisik tidak diperkenankan lagi. “Tidak ada itu main pukul, bahkan memaki. Dikhawatirkan, itu terbawa saat mereka telah menjadi abdi negara,” katanya.
“Pada masa-masa kami di APDN, kalau ada yang melakukan kesalahan bentuknya membersihkan kampus. Kalau praja melakukan kesalahan berat, bisa langsung dikeluarkan. Pun juga, bila ada praja yang terlibat adu fisik, dua-duanya bisa langsung dikeluarkan,” kata Alumnus APDN Pontianak angkatan ke-20, Manto Said.
“Eksistensi APDN di daerah sebenarnya sudah baik. Sudah menyatu, seakan-akan sudah menjadi organ tubuh. Lalu tiba-tiba diamputasi. Ini suatu kesalahan,” sesal dia.
Menurut pegawai negeri yang kini berdinas di Bakomapin Kalbar ini, kekerasan di IPDN juga tak terlepas dari adanya egoisme kedaerahan.
“Senior atau pengasuh dari provinsi A lebih cenderung tidak melakukan kekerasan fisik kepada juniornya sesama provinsi A. Biasanya juga ada dendam antarprovinsi yang diwarisi. Mereka melakukan balas dendam dengan sengaja mencari-cari kesalahan,” katanya.
Kembali ke IPDN Daerah
Menurut Linda Purnama, penyeragaman berbagai karakter pribadi berbeda yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia sangat rentan menimbulkan friksi.
“Saat 20 APDN belum dilikuidasi, tidak ada usaha penyeragaman itu. Kembali ke masing-masing daerah. Mereka sudah hafal dengan karakter dan budayanya masing-masing sehingga tidak kesulitan dalam membimbing. Karena itu perlu diwacanakan kembali IPDN daerah,” katanya.
Sementara Manto Said menambahkan, IPDN tidak perlu dibubarkan jika APDN daerah muncul. “Kita serahkan saja ke mekanisme pasar. Mana yang paling bagus, itu yang akan bertahan,” katanya. Dia menambahkan, “Jumlah praja di APDN daerah juga tidak sebanyak jika lembaga ini dipusatkan. Pengawasannya jadi lebih mudah,” katanya.
Tahun ini, Kalbar dipastikan akan mencetak Praja dari Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Tanjungpura. Dengan demikian, pengawasan metode pengajaran lebih mudah.
Asisten Ketataprajaan Sekretaris Daerah Provinsi Kalbar, Ignatius Lyong, kemarin menjelaskan belum ada petunjuk lebih lanjut tentang pengiriman mahasiswa ikatan dinas ke Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dari Kalbar.
“Pemprov Kalbar bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura akan membuka Program Studi Ilmu Pemerintahan tahun ini. Izin Dikti sudah dikantongi,” katanya.
Drs Bulyadi MSi, dari Bandiklat Kalbar, mengatakan kerjasama pembukaan prodi Ilmu Pemerintahan antara Untan dan Pemrov Kalbar merupakan embrio dari pembentukan IPDN daerah.
“Pemprov berkerja sama dengan Fisipol Untan telah menyiapkan program studi Ilmu Pemerintahan,” katanya. Ia menjelaskan, pola pengasuhan program nanti didesain seperti IPDN.
Dimana, dua tahun pertama para peserta pendidikan diasramakan di Bandiklat Kalbar. Alumni APDN Pontianak ini mengatakan, pemprov dan Untan masih terus menggodok pola pembinaan yang menarik.
Jika program ini berhasil, kata dia, Kalbar akan menjadi percontohan bagi daerah lain untuk membuat program serupa. “Mungkin juga akan diadopsi oleh IPDN,” ujarnya. (**)