We have new forums at NiteshKothari.com
TopBottom
Announcement: wanna exchange links? contact me at clwolvi@gmail.com.

Politik Identitas dalam Pilkada Pontianak

Posted by Efprizan 'zan' Rzeznik at Saturday, July 26, 2008
Share this post:
Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Yahoo Furl Technorati Reddit

*Antara Modal Kemenangan dan Ancaman Integritas


Politik identitas dalam pemilihan kepala daerah Kota Pontianak yang akan dihelat 25 Oktober 2008 tak bisa dihindarkan. Power sharing pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota dengan mempertimbangkan komposisi etnis menjadi salah satu modal kuat untuk meraup suara.

Menjelang penentuan kepala daerah Pontianak periode 2008—2013, masyarakat Kota Khatulistiwa semakin hangat memperbincangakan figur pemimpinnya ke depan.

Mesin politik pun mulai tancap gas agar mencapai garis akhir di urutan pertama mengantarkan ’jagoannya’ untuk mendapatkan ’kunci’ kota ini.

Tak terkecuali calon perseorangan yang kini sedang diverifikasi persyaratan dukungan pencalonannya oleh KPU yang menentukan apakah mereka dapat maju dalam pilkada nanti atau tidak.

Siapa figur tersebut? Dari mana asalnya? Siapa pendampingnya, menjadi obrolan masyarakat yang kian hangat. Hitungan-hitungan kekuatan suara pun mulai dikalkulasi.

Hitungan-hitungan politik untuk meraup dukungan suara dengan basis berdasarkan kelompok pun tak terhindari. ”Pemikiran itu masih melekat di masyarakat Kalbar yang majemuk. Pergulatan politik di tingkat lokal cenderung dengan politik identitas. Entah itu di kabupaten, maupun tingkat kota,” kata Pengamat Politik dari Universitas Tanjungpura, Jumadi SSos MSi.

Menurut Ketua Prodi Ilmu Program Pascasarjana Fisipol Untan ini, kalkulasi perolehan suara dengan menggunakan analisa kekuatan politik etnis untuk tujuan meraup suara berbasis kelompok, sah-sah saja dilakukan dan tidak bisa dihindari.

Power sharing seperti Melayu—Madura, Melayu—Etnis China Indonesia (ECI) Dayak—Melayu, ECI—Madura, dan sebagainya yang menjadi salah satu pertimbangan calon untuk menentukan pasangannya demi meraih suara berbasis kelompok, sah-sah saja dilakukan,” katanya.

Pasangan sesama etnis, tanpa adanya power sharing, menurutnya juga sah-sah saja dila

kukan tentunya dengan pertimbangan dan kalkulasi kemenangan pasangan tersebut dari analisis politiknya masing-masing.

”Jadi tak salah jika pasangan wali kota yang maju mempertimbangkan faktor itu. Apalagi yang maju tersebut mempunyai ketokohan suatu kelompok. Dia harus bisa akomodir itu sebagai representasi dari cerminan kelompok pasangan,” katanya.

Bangun pemilih rasional

Menurut Jumadi, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun masih menggunakan politik identitas dari para calon yang bertujuan untuk meraih dukungan dari suatu kelompok.

”Kita lihat di AS, bagaimana Calon Presiden dari Partai Demokrat Barack Obama merangkul orang-orang kulit hitam karena dia berharap komunitas imigran kulit hitam Amerika mendukung dia. Itu sah-sah saja. Tapi dia bangun itu, tidak hanya mengandalkan politik identitas semata. Tapi dia menawarkan isu yang dibangunnya. Ada perubahan di situ,” beber Jumadi.

Tambahnya lagi, jika pun dengan menggunakan politik identitas, tapi yang harus dikedepankan oleh pasangan tersebut jangan sa

mpai membangun politik di tengah masyarakat dengan hal yang tidak mendidik.

”Tinggal masalahnya sekarang adalah, walau dibangun dengan cara-cara seperti itu, tapi tidak dalam konteks memobilisasi masyarakat dengan tujuan politik yang tidak mendidik. Misalnya terlalu mengedepankan faktor suku disitu. Dan tidak lagi melihat soal figur, soal integritas, kredibilitas, serta visi dan misi pasangan calon tersebut,” ujarnya.

Ia menambahkan, ”Pemilih kita belum semuanya rasional. Pertimbangan faktor itu menjadi salah satu yang urgen juga. Menutup peluang di luar kelompok itu untuk mendukung. Kita berharap yang seperti ini tidak muncul. Karena yang kita butuhk

an adalah pemimpin yang tidak dilihat dari mana asalnya.”

Untuk membangun kesadaran masyarakat berpolitik secara rasional, menurut Jumadi, semua komponen yang terlibat dalam pilkada harus berperan aktif.

Penyelenggara pilkada dalam hal ini KPU, tidak semata terjebak dalam persoalan teknis administratif. Tapi turut juga menyosialisasikan kepada masyarakat dan mengajak rakyat agar pilwako berjalan lancar.

”Bagimana KPUD juga mengajak dan menyosialisasikan kepada masyarakat untuk berprilaku rasional dalam menggunakan hak pilihnya, pahami rekam jejak para calon, dan tidak melakukan tindakan anarkis. Imbauan-imbauan itu harus dilakukan KPU ke masyarakat,” katanya.

Tak hanya KPUD, tokoh masyarakat dan agama juga harus mampu memberikan pemahaman terhadap kelompok masyarakatnya masing-masing agar tak terhasut dengan isu-isu yang bisa menimbulkan disitegrasi sosial. ”Aparat keamananan juga harus antisipasi mengenai kemungkinan tingkat kerawanan dalam pilwako,” ujar Jumadi.

ECI Berpeluang Menang?

Sementara itu hasil analisis Ketua Umum Center Institute of Strategic Studies (CISS), M D La Ode, dengan menggunakan analisa primordial kelompok etnis, peluang terbesar yang dapat memenangkan pilkada muncul dari kelompok Etnis China Indonesia (ECI).

Menurutnya, komposisi kelompok etnik di Pontianak secara realitas adalah minoritas. Tidak ada yang komposisi kelompok etnisnya yang lebih dari 50 %. ”Bahkan tidak ada kelompok etnik yang sampai 40%,” katanya.

Kata dia, kelompok ECI mencapai angka tinggi dari kempok etnik yang ada di Kota Pontianak yakni 32,15%. Disusul kemudian etnis Melayu 25,71%, Bugis 12,96%, Jawa 11,50%, Madura 6,26%, Dayak 2,79%,

Minangkabau 2,03%, Sunda 1,21%, Batak 1,12% dan etnis lainnya 4,24%.

”Data ini saya olah dari Kanwil Depag Kalbar tahun 1995 dan Depdikbud Kalbar 1991. Walaupun data ini lama, tapi valid. Kalaupun terjadi perubahan, tidak mengalami perubahan signifikan,” ujarnya.

Ia menambahkan, ”Di atas kertas, kalau dilihat dari strategi peluang kemenangan, jika ECI berpasangan misalnya dengan Dayak, itu sudah 34.94%. Jika dirujuk dengan undang-undang pemilu terbaru yang mensyaratkan perolehan suara kemenangan calon 30%, pasangan ini sudah melebihi itu.”

La Ode mengatakan, peluang kemenangan ECI dalam Pilkada Pontianak ini juga didukung dana kampanye politik. Faktor sejarah juga mendukung, di mana ECI belum pernah sekalipun menjadi pemimpin kota ini sejak 1947 hingga sekarang.

Menurut La Ode, politik identitas merupakan srategi dalam memenangkan pilkada. ”Orang terintegrasi dengan mudah jika ada kesamaan kelompk etnis, tujuan, latar belakang, dan adat budaya,” katanya.

Ia mengatakan, pemilih cerdas yang lebih mempertimbangkan kapabilitas calon serta visi dan misi yang ditawarkan tidaklah banyak. ”smart vouters itu tidak terlalu banyak. Lebih banyak berpikir subjektif dibanding objektif. Maka dari itu kondisi msyarakat sedemikian sangatlah rentan konflik antaretnis. Apalagi disulut kepentingan politik dalam rangka perebutan kekuasaan seperti pilkada nanti,” katanya. (**)

0 comments:

Post a Comment