Gubernur Dipilih Langsung oleh Presiden
Posted by
Efprizan 'zan' Rzeznik at Saturday, January 5, 2008
Share this post:
|
Efisiensi Anggaran vs Semangat Otonomi Daerah
BELUM lama ini tersiar berita bahwa Gubernur Lemhanas, Muladi, mewacanakan agar gubernur dipilih langsung oleh presiden. Tetapi belakangan, Muladi mengklarifikasi pemberitaan itu dan menyatakan bahwa ide tersebut bukanlah pendapat resmi yang dikeluarkan lembaga yang dipimpinnya. Menurutnya, pernyataan tersebut merupakan gagasan dari seminar yang digelar oleh Program Pelatihan Reguler Angkatan 40 Lemhanas.
Hal itu juga diperkuat oleh Ketua Umum Center Institute Of Strategic Studies For National Resilience (CISS), MD La Ode. “Setahu saya wacana itu memang bukan usulan resmi dari Lemhanas, tetapi berdasarkan hasil kajian diskusi siswa Lemhanas yang pesertanya terdiri dari anggota legislatif dan eksekutif,” katanya.
Menurut La Ode, jika ide tersebut memang dari pendapat resmi dari Lemhanas, akan berpengaruh besar. Soalnya, kata dia, ide-ide dari Lemhanas selalu mendapat tempat di pemerintahan untuk diaplikasikan.
Pengamat polilitik, pemerintahan, dan ketahanan negara yang sedang menyelesaikan program doktor politik di Universitas Indonesia ini memberikan tanggapan konstruktifnya berkenaan dengan ide tersebut dengan menggunakan dua rujukan.
Pertama terletak pada titik berat otonomi daerah (otda) kabupatn/kota. Menurutnya, jika titik beratnya terletak hal itu, maka yang dipilih secara demokratis/langsung oleh rakyat adalah calon bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota.
“Sedangkan gubernur pada perspektif ini kembali statusnya sebagai perpanjangan pusat di daerah. Maka kecendrungannya bisa ditunjuk langsung oleh pusat karena dia dalam konteks ini tidak punya kewenangan otonom,” kata La Ode.
Rujukan kedua yakni berkenaan dengan otda bertingkat. Implikasi dari penerapan ini yakni bahwa pemerintahan otonom ada di provinsi, kabupaten, dan kota. “Dalam hal ini implikasinya bahwa otonomi daerah ada di provinsi, kabupaten, dan kota. Dalam perspektif ini maka gubernur dipilih langsung oleh rakyat tidak bisa ditunjuk pemerintah pusat dalam hal ini Presiden,” ujarnya.
Menurutnya, negara-negara di dunia lebih cendrung (lebih banyak) memakai otda bertingkat dibanding dengan otda kabupaten/kota.
“Negara-negara demokratis dan maju seperti Perancis, Amerika Serikat, Belanda, sistem pemerintahannya menggunakan otda bertingkat. Sedangkan otda pada kabupaten/kota sedikit sekali, setahu saya sistem ini hanya dipakai oleh Inggris,” katanya.
Bertentangan Otda
La Ode menilai, jika wacana gubernur dipilih langsung oleh Presiden diterapkan, konsekuensinya akan bertentangan dengan demokrasi yang telah menjadi konsesus nasional di era reformasi saat ini.
“Salah satu implikasi penunjukkan gubernur secara langsung oleh presiden bertentangan dengan demokrasi. Kita di era reformasi telah memiliki konsensus nasional dimana mulai dari presiden, gubernur, wali kota, bupati, hingga kepala desa beserta wakil-wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, dan itu indikator bahwa Indonesia demokratis,” katanya
Hal senada juga dikatakan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Provinsi Kalimantan Barat, Syarif Abdullah Alkadrie. Menurutnya, wacana tersebut merupakan langkah mundur karena bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
“Ide seperti itu saya tidak sependapat. Lebih parah dari orde baru yang gubernurnya masih dipilih DPRD. Kalau mekanismenya diubah dengan sistem pemilihan perwakilan dan sebagainya, itu bisa saja karena nuansa otonomi daerahnya itu masih melekat,” katanya.
Menurut Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat ini, penerapan ide itu akan membawa masalah baru di daerah. Degan penerapan otonomi daerah di tiap kabupaten/kota, dikhawatirkan olehnya akan menimbulkan gesekan atau perpecahan antardaerah tingkat dua di dalam satu provinsi.
“Itu akan sangat besar gesekannya. Misalnya saja satu kabupaten penghasil kayu atau kelapa sawit menggunakan jalan kabupaten lain untuk mengangkut hasil SDA-nya lalu dipajakin oleh kabupaten satunya. Itu kan akan menimbulkan gesekan antarpemerintahan,” katanya.
Sementara itu Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) Provinsi Kalbar, Muda Mahendrawan, kepada Pontianak Post belum lama ini mengatakan bahwa wacana gubernur ditunjuk presiden merupakan sebuah kemunduran di alam demokrasi.
“Bukan lagi mundur ke orde baru akan tetapi lebih dari itu, yang saya herankan mengapa wacana ini dimunculkan dengan alasan gubernur yang dipilih langsung malah tak loyal dengan (pemerintah) pusat,” ujarnya.
Dia menambahkan, jika benar-benar terwujud, maka keinginan pemerintah pusat untuk menghidupkan kembali sistem sentralisasi bakal terbukti.
Dipilih DPRD Kab/Kota
Sementara Aktifis/Politikus Dede Junaidi kepada koran ini sebelumnya juga mengatakan, andaikata pilgub kelak tak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka bukan berarti mereka yang menjabati posisi itu dipilih oleh presiden. Bisa saja pemilihan dilakukan oleh parlemen dari masing-masing kabupaten/kota pada provinsi bersangkutan.
Mekanisme yang dimaksud Dede, seluruh wakil rakyat yang duduk di parlemen kabupaten/kota dikumpulkan. Mereka kemudian menggunakan hak suara untuk memilih figur yang didaftarkan menjadi gubernur.
“Berapa pun perwakilan mereka, semua dikumpulkan di provinsi untuk kemudian memilih, mereka berhak karena merupakan representasi dari rakyat,” kata ketua salah satu pengurus partai politik di Kabupaten Pontianak ini. (**)