Menilai APBD Provinsi Kalimantan Barat 2008
Posted by
Efprizan 'zan' Rzeznik at Sunday, January 6, 2008
Share this post:
|
Refleksi Terhadap APBD Provinsi Tahun Anggaran 2006 & 2007
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalbar 2008 telah disahkan pekan lalu, melalui sidang paripurna yang dihadiri Gubernur Usman Jafar. Eksekutif dan legislatif sepakat menetapkan anggaran sebesar Rp1,3 triliun yang diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan baik belanja tidak langsung maupun belanja langsung.
UNTUK pemenuhan hak dasar warga bidang pendidikan dan kesehatan pada tahun 2008 dalam RAPBD 2008, alokasi pendidikan hanya 5,1% dari total belanja APBD dan alokasi kesehatan 3,9% dari total belanja APBD.
Hal ini menjadi sorotan utama dari Jaringan Independen Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembangunan (JARI) Indonesia Orwil Borneo Barat.
Melalui Ketua Divisi Advokasinya, Indra Aminullah, hal tersebut menjadi sorotan penting karena masih tingginya angka buta huruf di Kalbar. Dan anehnya dalam prioritas dan plafon anggaran tahun 2008 tidak satupun klausul yang berani mengungkap bahwa angka buta huruf dan angka putus sekolah di Kalbar masih tinggi.
Di sisi yang lain tingkat kesehatan masyarakat juga masih rendah ditandai dengan masih adanya kasus anak gizi buruk di beberapa daerah, kasus ibu hamil yang meninggal dunia karena kurangnya asupan gizi, banyaknya polindes serta sarana kesehatan yang tidak ”berpenghuni”, sanitasi yang tidak baik, serta air bersih yang tidak memadai.
Dalam konteks politik alokasi anggaran, berbekal dokumen RPJM dan dokumen APBD 2006 dan 2007, JARI menganalisis pada beberapa satuan kerja perangkat daerah saja. Analisis ini juga dilakukan pada pos belanja operasional dan modal untuk pelayanan publik (APBD 2006) atau belanja langsung (2007).
Terkait HAM dan Pendidikan
Untuk alokasi anggaran yang bertitle hak asasi manusia (HAM), Hasil tracking JARI menunjukan bahwa beberapa program yang jelas-jelas berkaitan langsung dengan persoalan pemajuan HAM ada di tiga satuan perangkat kerja daerah (SKPD) saja, yakni Biro Hukum Pemda, Dinas Tenaga Kerja, dan Bappora PP.
“Meskipun itu belum secara khusus dialokasikan pada kelompok – kelompok yang rentan terlanggar HAM-nya misal kaum diffable (penyandang cacat) yang selama ini belum mendapat perhatian khusus,” kata Indra Aminullah.
Untuk Hak pendidikan, hasi riset JARI di tiga kabupaten dengan melihat realitas lapangan dan politik anggaran yang dialokasikan melalui APBD Kabupaten dan Provinsi maka didapat beberapa kesimpulan:
Pertama, semestinya anggaran propinsi menjadi stimulan bagi anggaran daerah dalam pemenuhan hak dasar. Kedua, Masih tingginya angka tidak tamat sekolah dengan berbagai faktor bahkan target yang ditentukan melaui RPJM kabupaten tersebut dengan alokasi anggarannya masih jauh dari target , untuk itu APBD 2008 hendaknya menjadi komplemen dari pemenuhan target tersebut.
Dari proses verifikasi atas dokumen RPJM dengan alokasi anggaran yang tercermin pada APBD 2006 dan 2007, JARI mendapatkan analisisnya sebagai berikut:
Pertama, masih belum ada alat ukur yang jitu untuk menurunkan agenda RPJM ke alokasi anggaran dari tahun ke tahun. Kedua, alokasi anggaran tersebut lebih mencerminkan pada upaya-upaya yang masih sama dan terkesan monoton, padahal tantangan persoalan HAM lebih dinamis. Ketiga, belum ada upaya yang signifikan dari pemerintah daerah yang tercermin dalam alokasi anggaran APBD 2006 dan 2007 untuk menjalankan agenda Harmonis dalam Etnis.
Belanja Bantuan Sosial
Dari analisis belanja untuk bantuan sosial didapatkan kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2007 sejumlah Rp76.498.876.500 sekitar 258% peningkatannya. Atas dasar tersebut JARI meminta penjelasan untuk penganggaran bantuan sosial tahun 2008 sejumlah Rp. 55.500.000.000 diperuntukkan bagi siapa saja? Serta bagaimana mekanismenya?
Krtitik Public Hearing
Pandangan Panitia Anggaran DPRD Provinsi Kalimantan Barat terhadap nota penjelasan Gubernur Kalimantan Barat tentang RAPBD provinsi tahun 2008, juga mendapatkan kritikan JARI.
Menurut Indra, pandangan tersebut seluruhnya masih bersifat normatif, artinya tidak mengkritisi secara detail dan masih bersifat umum. “Belum sampai kepada pengkritisian tentang efektifitas, efisiensi, serta sorotan terhadap pemborosan anggaran,” katanya.
Kritikan lainnya yakni pada mendapatkan masukan dari masyarakat tentang RAPBD 2008 melalui public hearing. “Keinginan ini patut diberikan apresiasi positif. Namun, kesalahan kembali terulang. Public hearing hanya dijadikan sebagai ceremonial event saja dan hanya sebatas pelengkap program,” katanya.
Menurut Indra, bahan inti agar masyarakat dapat memberikan masukan pada public haring tersebut, yaitu dokumen RAPBD, justru tidak diberikan. Padahal, itu sesuai konteks inti undangan yang diberikan oleh penyelenggara yaitu ”bahan masukan dalam rangka membahas RAPBD tahun Anggaran 2008”.
“Ini yang menjadi transparansi setengah hati. Karena kejadian seperti ini yang membuat public hearing menjadi tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Anehnya, peristiwa seperti ini selalu terjadi pada saat public hearing dilaksanakan,” katanya.