We have new forums at NiteshKothari.com
TopBottom
Announcement: wanna exchange links? contact me at clwolvi@gmail.com.

*Sambut Tren Mode Etnik 2008

Posted by Efprizan 'zan' Rzeznik at Sunday, January 6, 2008
Share this post:
Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Yahoo Furl Technorati Reddit

Teks Foto: Gadis Pontianak dengan busana corak insang (Bearing foto)


Corak Insang dan Kearifan Melayu Pontianak: Menenun Sejarah Merenda Zaman

BANYAK perancang busana yang bilang, tren mode di tahun 2008 nanti akan memasuki nuansa busana etnik. Ya, 2008 berbalut etnik. Sentuhan itu telah ditunjukkan oleh sejumlah perancang yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) untuk menggelar busana tahunan Fashion Tendance 2008 bertema Weaving the Future beberapa waktu lalu.

Berbicara busana etnik, untuk di Kota Khatulistiwa, tentulah akan tertuju dengan motif kain corak insang. Ya, kearifan Melayu Pontianak akan bisa dilihat dari indahnya motif tersebut.

Desainer Raizal Rais, misalnya. Pria yang memulai karirnya sejak tahun 1985 ini dan ditugaskan oleh Departemen Perindustrian untuk mengeksplorasi seni tenun khas Kalimantan Barat ini mengakui keeksotisan motif corak insang.

Dari kekagumannya itu, Raizal mempromosikan tenun Kalbar pada Pesta Tenun Nasional yang dihelat pada pada pertengahan Desember lalu di Jakarta. Termasuklah motif corak insang, yang dipadupadankannya dengan beragam motif lainnya seperti tenun motif Putussibau serta tenun Ketapang yang berpadu dengan koleksi songket Pandai Sikek Sumbar.

Tren busana corak insang saat ini tidak hanya dipakai pada acara resmi saja, seragam PNS Pemkot Pontianak, maupun baju anak sekolahan di kota ini. Tren berbusana etnik, khususnya corak insang juga sudah akrab dipakai anak muda lewat padu padannya yang serasi.

Motif corak insang tak hanya melekat pada pakaian saja. Tas, dompet, sendal, sepatu, dan aksesoris lainnya, juga banyak yang menggunakan motif corak insang. Aksesoris motif ini laku di tokoh cinderamata dan diminati para wisatawan lokal dan internasional yang berkunjung ke kota ini.

Sejarah Corak Insang

Bagaimana sejarah perkembangan tenunan Melayu Pontianak ini berjalan? Syafaruddin Usman MHD, Peminat Kajian Kontemporer Sejarah dan Budaya Kalbar, mencatatnya lengkap dan bukunya akan diterbitkan dalam waktu dekat.

Kepada Pontianak Post, Syafaruddin menjelaskan bahwa perkembangan tenunan Melayu Pontianak berjalan seiring dengan kebesaran dan kejayaan Kesultanan Kadriyah atau kejayaan kerajaan Melayu Pontianak pada masa lampau.

Masa Kerajaan Pontianak atau Kesultanan Kadriyah Pontianak bermula dari tahun 1771 hingga tahun 1950. pada masa-masa kebesaran dan kejayaan kerajaan Melayu tersebut kegiatan bertenun dalam masyarakat Melayu Pontianak berlangsung dengan semarak. “Konon motif tertua ini sudah dikenal sejak masa pemerintahan sultan pertama Pontianak Syarif Abdurrahman Alkadri, 1771-1808,” katanya.

Menurut Syafaruddin, dikenalnya kain tenun corak insang dari masyarakat Melayu Pontianak, tak terlepas dari rangkaian sejarah Kesultanan Kadriyah Pontianak itu sendiri.

Jenis tenun ini pada umumnya tidak menggunakan bahan baku benang emas. Model Corak Insang sebenarnya memiliki kemiripan dengan tenun Cual dari Sambas, di mana perbedaannya terletak pada motif-motifnya saja (Mirza, 1998: 2).

Ia menjelaskan, kain tenun, termasuk tenun Corak Insang, mula-mula digunakan oleh kerabat kesultanan. Lambat laun digunakan kalangan bangsawan dan kerabat kerajaan yang memiliki kemampuan lebih.

Namun dalam perkembangan berikutnya, kain corak insang khususnya, dipergunakan pula oleh kalangan masyarakat Melayu umumnya. Sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Pontianak, khususnya melalui hubungan perdagangan, pemasaran hasil tenunan berupa kain corak insang pun memperoleh tempat tersendiri. Sehingga tak ada pengecualian pula, perdagangan hasil tenunan masyarakat Melayu Pontianak ini dengan sendirinya menjadi salah satu faktor penunjang timbulnya proses integrasi antardaerah dan menjurus pula terhadap aliran besar kultural yang membawa unsur dan supremasi kebudayaan lainnya.

“Di samping juga melalui hasil kerajinan tenun corak insang ini mengantarkan perkenalan antar suku bangsa, terutama yang dilakukan para pendatang yang memberi kemungkinan terbukanya komunikasi dalam pertukaran pengalamannya akan menjurus pada kesadaran tentang kesauan dari suku bangsa seluruh tanah air,” katanya.

Makna Filosofis

Menurut Syafaruddin, dalam kehidupan sehari-hari, budaya suatu masyarakat akan melatarbelakangi dalam aktivitas anggota masyarakatnya.

Di samping itu, untuk menunjukkan jati diri dari suatu masyarakat, memiliki kecenderungan menonjolkan salah satu dari hasil budayanya yang sifatnya spesifik yang dapat digunakan untuk membedakan dengan budaya kelompok masyarakat lainnya.

Demikian pula halnya dengan kelompok masyarakat Melayu di Nusantara yang memiliki cirri umum dalam bidang tenun, utamanya tenun songket.

Untuk membedakan kelompok masyarakat Melayu Pontianak dengan kelompok masyarakat Melayu lainnya di bidang tenunan ini, masyarakat Melayu Pontianak secara khusus memiliki kerajinan tenun yang turun temurun dinamakan dengan Tenun Corak Insang atau hasil tenunannya dikenal dengan Kain Tenun Corak Insang.

Jenis tenunan ini pada umumnya tidak menggunakan bahan baku benang emas. Ini antara lain yang membedakannya dengan tenunan Melayu Kalimantan Barat lainnya, seperti hasil tenunan Melayu Sambas, Mempawah, Sanggau, Sintang dan Ketapang ataupun daerah lainnya.

Pada perkembangan berikutnya, hasil tenun berupa kain corak insang menjadi pakaian sehari-hari masyarakat Melayu Pontianak dan sekitarnya. Dalam periode itu pula kemudian muncul beberapa motif tenun corak insang, yang dikenal luas, antara lain Corak Insang Berantai, Corak Insang Bertangkup, Corak Insang Delima, Corak Insang Awan, Corak Insang Berombak, Corak Insang Bertapak Besar dan lain sebagainya.

“Dari motif-motif tenun corak insang itu, para penenun kebanyakan lebih menyukai motif tumbuh-tumbuhan dan keadaan alam di sekitarnya,” kata Syafaruddin.

Di awal perkembangannya, menurutnya, kain tenun corak insang dihasilkan dari pengaruh kehidupan dan budaya masyarakat Melayu Pontianak yang mendiami kawasan sepanjang Sungai Kapuas. Kehidupan sebagai nelayan yang menjadi profesi masyarakat ini menjadikan ikan sebagai salah satu media pengungkapan atau diwujudkan sebagai ekspresi seni yang dijabarkan sebagai motif atau corak dari hasil tenunan yang dihasilkannya.

“Ikan yang dimaksudkan tersebut bukanlah gambar seekor ikan secara utuh, tetapi salah satu bagian terpenting dari anatomi ikan, yaitu yang paling vital yang oleh masyarakat Melayu Pontianak dinamakan dengan insang ikan. Inilah yang dijadikan sebagai obyek manifestasi apresiasi masyarakat penghasil kain tenun tersebut,” ujarnya.

Dalam pertumbuhan dan kemudian perkembangan budayanya, apresiasi akan insang tersebut menjadi suatu kesepakatan budaya masyarakat Melayu Pontianak untuk mengidentifikasikan hasil tenunan mereka dengan sebutan Kain Tenun Corak Insang.

“Meski demikian, sebetulnya pada masa yang bersamaan di awal pertumbuhan dan mula perkembangan tenun corak insang tersebut, masyarakat Melayu Pontianak juga menghasilkan hasil tenun tradisional yang dikenal dengan nama Tenun Sisip dan Tenun Celup atau Tenun Ikat,” katanya.

Untuk membedakan antara kain tenun corak insang dengan dua jenis disebutkan terakhir tadi, di mana Tenun Sisip adalah penenunan yang khusus untuk mengerjakan kain bersulamkan kelingkang, seperti kain tabir, selendang, bahan baju dan kain untuk pengantin.

Biasanya kain Tenun Sisip ini diperkenalkan dengan nama Kain Belande atau juga Tenun Tumpu. Sedangkan Tenun Celup atau tenun Ikat adalah tenunan khusus untuk mengerjakan kain insang dan juga kain pelekat. Ukurannya lebih panjang sehingga dinamakan dengan Tenun Gantung.

Menurut Syafaruddin, sebetulnya penamaan corak insang untuk hasil tenunan tradisional masyarakat Melayu Pontianak ini yang terinspirasikan dari insang ikan, juga mengandung makna filosofis di dalamnya.

Makna filosofis tersebut antara lain menggambarkan alat kehidupan, yaitu pernapasan pada ikan. “Ini mengandung makna sebagai hasil akal-budi untuk menunjang kehidupan. Kemudian mengandung pengertian sebagai bagian dari kehidupan masyarakat pesisir yang mendiami sepanjang aliran Sungai Kapuas yang dikenal luas sebagai nelayan,” ujarnya. (***)

Labels:

0 comments:

Post a Comment