Setelah Uranium Dieksplorasi, Kalbar Kecolongan Minyak Bumi Sintang?
Posted by
Efprizan 'zan' Rzeznik at Thursday, January 10, 2008
Share this post:
|
SELAIN kecolongan eksplorasi uranium Nanga Pinoh/ Nanga Ella & Nanga Kalan oleh Commessariats L'Energi Le Anatomique (Badan Tenaga Atom Perancis), dalam waktu bersamaan, sekitar tahun 70-an, Kalbar juga kecolongan kegiatan eksplorasi minyak bumi yang dilaksanakan oleh sebuah perusahaan luar negeri. Kegiatan eksplorasi minyak bumi tersebut dilakukan di Sintang, khususnya di daerah Kecamatan Merakai.
Laporan Efprizan Rzeznik Pontianak
Demikian diungkapkan Mantan Chief Le Sondage (Kepala Bidang Pengeboran) explorasi uranium Nanga Pinoh/ Nanga Ella & Nanga Kalan di Commessariats L'Energi Le Anatomique (Badan Tenaga Atom Perancis), Sunardjo M BSc, kepada Pontianak Post, kemarin. "Saya berkesimpulan bahwa Kalbar bukannya kerugian materi, tetapi dokumen aset daerah yang kita kecolongan," tegasnya. "Eksplorasi minyak bumi yang dilaksanakan sebuah perusahaan asing, yang juga perkembangan maupun data yang dihasilkannya kita juga tidak tahu, disini juga kita kecolongan," tambah ia.
Ia mengaku mengetahui banyak mengenai kegiatan eksplorasi uranium tersebut. Keberadaan CEA (Commessariats L'Energi Le Anatomique) menggandeng BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) di Kalimantan Barat, kata ia, telah dimulai pada dekade tahun 60-an.
Kegiatannya merambah hingga Kapuas Hulu, Landak dan Sanggau. "Itu terdeteksi mereka berdasarkan informasi satelit dan hasil survey. Sekitar tahun 70-an mereka memasuki wilayah Ng Pinoh. Pada waktu itu masih masuk kabupaten Sintang dan ternyata di tempat ini baru ditemukan," jelasnya.
Titik-titik anomali (istilah temuan yang diakibatkan oleh pancaran partikel sinar alpha, betha dan gama) pada jenis batuan-batuan maupun lumpur-lumpur di sekitar Ng. Kalan yang persisnya di Daerah Rirang, proses ini berkembang sampai mereka menentukan titik sentral operasional, dengan Jeronang sebagai base camp mereka.
Ia melanjutkan, dari sinilah CEA-BATAN melakukan kegiatan secara maksimal. Seperti dimulainya pengeboran, survey mikro, pemetaan secara akurat dan sebagainya. Sunardjo berkesimpulan bahwa CEA-BATAN telah bekerja sama pada dekade tahun 60-an. Dan pada waktu itu, BATAN masih dipimpin Prof Dr Baikuni.
"Karena dulu belum otonomi daerah, sedangkan yang dilakukan tersebut barang tambang yang mempunyai nilai strategis dan tinggi nilainya, sehingga kegiatan tersebut (juga) berada di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom PBB (IAEA). Maka bisa saja untuk hal ini ada ketentuan-ketentuan khusus dari pemerintah pusat untuk CEA - BATAN dalam misi kerja mereka guna melacak keberadaan uranium di bumi Kalbar," ungkap Sunardjo.
Adanya isu mengenai banyaknya material hasil eksplorasi di bawa keluar, ia tidak memungkirinya. Soalnya, material yang dibawa keluar pada waktu itu berupa batuan contoh, yang mungkin akan diselidiki di Labotorium BATAN di Jakarta guna menghitung besarnya jumlah kandungan uranium dalam per Kg atau per ton batu.
"Tetapi untuk memproduksi uranium murni, saya rasa mungkin belum bisa. Karena kita masih belum punya reaktor nuklir yang dapat memisahkan isotop-isotop dari molekul uranium yang diperlukan. Selain itu juga harus mendapatkan rekomendasi khusus Badan Tenaga Atom Internasional yang berada di bawah Badan Keamanan PBB yaitu IAEA," jelasnya.
Sambungnya lagi, jenis bebatuan yang dibawa ke Jakarta pada waktu itu adalah batuan sample hasil pengeboran (Sondeur), batuan hasil pacahan batu bolder (batu gelinding) yang ditemukan dalam perjalanan survey geologi, serta batuan hasil explosive. "Kalau data yang diambil dari sample lumpur, pada waktu itu, sudah bisa diperiksa di Laboratorium Geochimie yang berada di Nanga Pinoh. Jadi untuk laporan sudah berbentuk catatan dokumen," jelasnya.
Soal dampak lingkungan akibat eksplorasi, menurut pria yang kini aktif di dalam kepengurusan LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) dan Forum RI-1 untuk Kalimantan Barat ini, mengatakan bahwa CEA-BATAN tidak bekerja secara mengaduk-ngaduk ekosistem di wilayah operasional mereka, karena titik fokus kegiatannya ialah pada titik-titik di mana lokasi yang terdeteksi banyak mengandung uranium.
Lanjutnya lagi, tahapan itu harus dilalui oleh pengeboran dahulu, dan apabila ternyata kandungannya cukup memadai, baru dilakukan pengkajian apakah perlu diadakan pengambilan sample bongkahan batu atau tidak. Dan itu pun, lanjutnya, harus dilihat apakah di sekitar lobang bor tersebut ada lagi titik-titik hasil pengeboran lain yang menghasilkan lapisan kandungan uranium yang memadai. Sebab jika tidak ada, kemungkinan data hasil pengeboran yang pertama tadi tidak ditindaklanjuti untuk mengambil sample bongkahan batunya, karena biaya untuk melakukan peledakan cukup mahal. "Oleh karena itu, sample diambil cukup hanya carrote"s nya saja (sample hasil pengeboran, Red)," jelasnya.
Sekarang ini, katanya, pihak BATAN sedang mengakses kembali data-data lapangan yang kurang lengkap, sebab hal ini bisa terjadi akibat kecolongan data yang mungkin pada waktu itu banyak digelapkan oleh pihak Prancis (CEA). Lanjutnya lagi, dan mungkin oleh pihak Prancis sudah menjadi perhitungannya bahwa Indonesia tidak akan mungkin menindaklanjuti pekerjaan tersebut.
Selain biaya operasional yang sangat besar, kurang lebih dua hingga tiga miliar pertahun pada waktu itu, menurut informasi yang didapatkannya dari Kepala Perwakilan CEA waktu itu di Pontianak, sepeninggal CEA dengan seluruh peralatan eksplorasi yang diserahkan kepada BATAN, besar kemungkinan alat-alat itu tidak berfungsi lagi.
"Sangat disayangkan bahwa SDM dan financial negara kita untuk hal tersebut belum memadai. Karena itu saya berkesimpulan bahwa Kalbar bukan kerugian materi, tetapi kita kecolongan dokumen aset daerah. Kesimpulam saya secara menyeluruh, Kalbar kaya akan hasil tambang potensial, tetapi untuk menikmati hasilnya masih jauh dari perhitungan yang rill," ujar Sunardjo.