Roh Gentayangan Diantar Macan Menuju ke Khayangan
Posted by
Efprizan 'zan' Rzeznik at Saturday, August 23, 2008
Share this post:
|
Foto-foto:Bearing
Kapal wangkang segera angkat jangkar. Dua layar putihnya telah membentang. Siap membawa para arwah menuju nirwana. Ik Fan Fong Sun pada tulisan layar depan dan Sun Fung Tek Li terukir di layar belakang. ”Selamat jalan, mudah rezeki terus berjalan lurus mengikuti angin,” begitulah makna filosofisnya.
Jumat sore, 15 Agustus 2008, di pemakaman Yayasan Bhakti Suci (YBS), sebelum pukul 17.00, sebuah kapal tiruan yang terbuat dari kertas dengan kerangka kayu dan sesajian yang dikenal dengan sebutan kapal wangkang telah sempurna dibakar.
Keanehan serupa sebelum prosesi bakar wangkang juga terjadi di tahun sebeleumnya. Saya juga berkesempatan meliput peristiwa ini. Pada tahun lalu, di langit terbentuk sebuah lobang besar langsung disinari matahari. Tepat di atas kapal wangkang.
Sementara langit-langit di sekelilingnya diliputi awan hitam (mendung). Bantak orang yang bilang bahwa kejadian-kejadian seperti itu pertanda bahwa roh gentayangan tersebut sedang dijemput.
Prosesi pembakaran kapal ini merupakan akhir dari ritual sembahyang kubur (Chiu Ji) yang telah dilakukan selama dua pekan oleh warga Tionghoa, khususnya penganut agama Khong Hu Cu.
Kapal wangkang kali ini berukuran panjang 21 m dengan lebar 3,5 m. Tiap tahun kapal ini bertambah panjang 5 cm. Soalnya mereka yakin, setiap tahun arwah yang tidak didoakan para kerabat atau sanak saudaranya dan masih berada di bumi, semakin bertambah dan harus diantar ke nirwana melalui prosesi pembakaran wangkang.
Menurut Ketua Yayasan Bhakti Suci, Lindra Lie, pembuatan kapal wangkang kali ini menelan biaya sekitar Rp20 juta. Biaya tersebut merupakan sumbangan secara sukarela dari masyarakat.
Sementara sesaji di dalam kapal, juga diperoleh dari sumbangan masyarakat. Beragam sesaji ada di dalamnya seperti makanan pokok. Benda-benda serba tiruan juga ikut diangkut di dalamnya. Mulai dari uang, pakaian, barang-barang elektronik, hingga kendaraan mewah.
Mereka yakin, benda-benda yang telah didoakan tersebut akan dipakai oleh para arwah kelak sesampainya di nirwana. Di buritan kapal juga dibuat miniatur kelenteng dan perlengkapan sembahyang.
Ada juga orang-orangan yang dibuat menyerupai kapten kapal dan para anak buah kapal. Semua dibuat seperti layaknya kapal asli. Sebelum kapal dibakar para pengurus YBS, terlebih dahulu mengadakan ritual di depan kapal.
Sambil membakar hio, doa-doa khusus mereka panjatkan. Mereka berdoa agar arwah-arwah yang tidak diurus para keluarga dan masih berada di bumi, bisa diantar menuju alamnya.
Mereka juga berdoa agar masyarakat Kalbar khususnya Kota Pontianak dan Kubu Raya dapat diberi keselamatan dan keberkahan melimpah dari Yang Maha Kuasa.
”Menjelang Pilkada Kota Pontianak dan Kubu Raya, kami berdoa agar pesta demokrasi nanti berlangsung aman dan damai dan mendapatkan pemimpin yang bisa menyejahterakan masyarakatnya dan memajukan daerah,” kata Lindra Lie.
Sebelum pengurus YBS bermunajat, terlebih dahulu masyarakat dari berbagai penjuru Kota Pontianak dan sekitarnya juga ikut bersembahyang tepat di depan kapal tersebut. Di bawah haluan kapal ada tempat untuk menaruh hio yang disimpan umat setelah selesai berdoa.
Masyarakat yang menyaksikan acara pembakaran wangkang di halaman pemakaman YBS itu tumpah ruah. Beberapa diantaranya juga terlihat turis asing yang tampak menikmati setiap jalannya acara prosesi tersebut.
Setelah sembahyang selesai dilakukan oleh para pengurus YBS, Lindra Lie dan beberapa pengurus lainnya mulai melakukan pembakaran kapal tersebut.
Dua unit mobil pemadam kebakaran dari Yayasan Panca Bhakti telah siap mengantisipasi kemungkinan merembetnya api yang dihasilkan dari prosesi pembakaran itu.
Karena angin yang agak kencang, api dari kapal tersebut melebar menuju ke arah pengunjung. Dua mobil pemadam kebakaran segera menyemprotkan airnya. Lokasi seketika menjadi hujan lokal.
Sebelumnya, juga diadakan sembahyang secara khusus di dekat pemakaman. Setelah berdoa, sesaji seperti bahan makanan pokok dan buah-buahan yang terhampar di tikar segera diperebutkan oleh masyarakat. Ritual ini juga dikenal oleh masyarakat dengan sebutan sembahyang rebut.
Lindra Lie mengaku tidak tahu persis kapan dimulainya tradisi ini. Namun, menurutnya tradisi memberikan sesaji serta mendoakan para leluhur agar bisa mencapai surga dengan baik ini dianggap sebagai hal yang positif dan harus dilestarikan oleh generasi muda. ”Upacara ini juga sebagai bentuk tolak bala agar daerah ini terhindar dari bencana,” kata Lindra. (**)